Anak muda di era digital, antara peluang dan tantangan

Kita sedang hidup dalam dunia yang membingungkan sekaligus mempesona bagi siapa pun, pemuda dan pemudi hari ini generasi yang tumbuh di era digital dengan arus informasi yang cepat dan teknologi yang canggih.

Sebagian pemuda dan pemudi yang saya maksudkan disini ia lah mereka seringkali terobsesi dengan citra yang ditampilkan secara online. Cenderung mengukur nilai diri dari jumlah like, follower, dan view. Sehingga terjebak dalam budaya konsumsi digital yang pasif, lebih banyak menghabiskan waktu untuk skrol layar hp untuk nonton daripada mengeksplorasi ide-ide kreatif atau membangun keterampilan baru di media sosial.

Tekanan sosial yang besar, baik dari lingkungan maupun ekspektasi diri sendiri, standar kesuksesan yang seringkali tidak realistis, serta perbandingan diri dengan orang lain melalui media sosial dapat menyebabkan masalah kesehatan mental, seperti kecemasan dan depresi, Pun mereka kuat secara emosional tapi lumpuh secara intelektual.

Meski hari ini kita memiliki akses luas terhadap informasi, sebagian pemuda dan pemudi justru cenderung terjebak dalam arus opini publik atau tren tanpa benar-benar menganalisis dan berpikir kritis. Sering kali hanya mengikuti apa yang sedang populer, baik dalam gaya hidup, pandangan politik atau opini sosial tanpa melakukan kajian mendalam. Sehingga mudah terpengaruh oleh informasi yang tidak akurat atau manipulatif.

Yang menjadi pertanyaan saya disini, apakah anak muda mampu membawa perubahan positif, atau justru tersesat dalam arus teknologi dan tren yg menguasai mereka?

Menggunakan topeng demi kepentingan pribadi mungkin tampak menggoda bagi sebagian orang. Mereka berpikir bahwa dengan berpura-pura, memanipulasi citra diri, atau berbohong, mereka dapat mencapai tujuan lebih cepat, entah itu dalam hal karir, status sosial, atau bahkan hubungan. Namun, perilaku seperti ini menciptakan celah dalam kepribadian dan moralitas seseorang. Pada akhirnya, kebohongan dan manipulasi hanya akan melahirkan ketidakpercayaan dari orang lain dan menodai nama baik diri sendiri.

topeng yang saya maksudkan disini ia lah menutupi alam bawa sadar atau sifat asli demi kepentingan pribadi, ini berbeda dengan pemuda yang saya maksudkan di atas, anak muda yang bertopeng ini mereka cenderung melupakan bahwa keberhasilan sejati tidak hanya diukur dari pencapaian materi atau kekuasaan, tetapi juga dari seberapa besar mereka dapat dipercaya, jujur, dan konsisten dalam memegang nilai-nilai yang benar. Dalam jangka panjang, keberhasilan yang dibangun di atas kepalsuan tidak akan bertahan lama. Sebab masyarakat yang semakin kritis dan cerdas akan mampu melihat kepalsuan dan kemunafikan pemuda seperti ini.

Tak heran jika ada di antara mereka yang ingin mendapatkan pengakuan sosial atau popularitas dengan cara menjilat kekuasaan dari pada berjuang untuk prinsip dan nilai-nilai yang mereka yakini. ini bukan lah fenomena baru, tetapi saya merasa khawatir di era media sosial yang menempatkan popularitas di atas segalanya.

Pemuda dan pemudi seharusnya menjadi garda terdepan untuk perubahan yang lebih baik, energi, kreatifitas dan idealisme yang dimiliki bisa menggerakan masyarakat menuju arah yang lebih baik. Namun alih-alih menggunakan potensi tersebut untuk memperjuangkan keadilan dan kebenaran, banyak di antara mereka yang justru memilih untuk mendekati penguasa demi kepentingan pribadi. Dengan menjilat kekuasaan, mereka berharap mendapatkan akses, fasilitas, dan dukungan yang mungkin mereka tidak peroleh jika berdiri di jalur yang benar.

Sebagai penutup Penulis mengajak semua pembaca dan kepada seluruh pemuda, pemudi untuk berpikir kritis dan bijaksana, jangan biarkan dirimu tenggelam dalam kesibukan digital, luangkan waktu untuk bertumbuh dan mengembangkan diri agar tidak hanya dikenal karena popularitas semu, tetapi juga karena dedikasi dan komitmen terhadap keadilan dan kebenaran.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top